AL FAJR

Selasa, 27 Januari 2009

BUTUH VS CINTA

Lidah menggombal
Dunia sesak menyangka
Butuh…cinta…butuh…?
Suara hanya suara tinggalkan hampa
Perut penuh, habislah perkara
Kuota raja memang sudah milik tuan berangka
Cinta…Butuh…Cinta…?
Dusta!!!
Angka jadi tuhan binar kuasa
Menata
Menjaga
Membegal
Kasar...!!!
Cinta kalah
Damai penyilau mata
Butuh…butuh....butuh…
Puas!!!
Harat yang terus bicara
Butuh…butuh…butuh…

TEMAN KEBISUAN

“Ria!!”, duer… meja di depanku tiba-tiba dipukul Dian tanpa aku tahu apa alasannya. Kelas yang sepi, tiba-tiba digemakan suara yang mengagetkan. Seperti biasa, di kelas aku dating lebih awal, karena pagi ini ada matematika, pelajaran yang ku suka. Aku ingin mempelajarinya sebentar, matematika sangat menyenangkan menurutku. Konsentrasi yang ku butuhkan, setiap mulai mempermainkan angka-angka dalam soal.
“Kenapa sich?”, aku ingin membalas kemarahannya. Tidak bisa bicara dengan baik-baik apa. Kalau emosi di balas dengan emosi hancurlah dunia. Palestina dan Israel saja belum berhenti, mau perang lagi. Mending mikir untuk perdamaian, tapi sayang Israel lidahnya nggak bisa dipegang. Lanjutkan saja hingga kebenaran terlihat dimata Dunia.
“Ria, kamu apa-apaan sich? “,
“Lha apa-apaan kenapa tiba-ti saja kamu langgung menggebrak meja mana aku tahu.”, memang aku tak tahu sebenarnya apa yang terjadi. Apa dia habis nonton sinetron, terus kebawa didunia nyata za?. Atau lagi berlaga bawang merah dan bawang putih, aku yang jadi putihnya. Ukh, maunya. Kok jadi menghayal kemana-mana.
“Ria, kenapa kamu kemarin nggak hadir sich. Kalau kamu hadir salah satu dari kita bisa mewakili perlombaan Debat Nasional itu. Kamu kan vocal, semua yang hadir hanya diam. Tak ada yang bisa menunjukkan ide dari pikiranya…”, bla- bla- bla, panjang lebar dia berteriak dan menyalahkan, tapi apakah bisa mengubah segalanya.
“Dian sayang, kalau kalah ya udah. Kenapa kemarin bukan kamu saja yang berbicara. Tunjukkan dan ungkapan semua yang ada dibenakmu.!”, kalem seperti tanpa dosa, memang githu sich sepertinya.
“Ria..!, kok kamu jadi kayak githu sich.”, dia marah, memang marah, marah yang tak bisa ku mengerti. Kenapa harus mengaturku, salahkah aku jika tak suka dengan perdebatan yang cuma mencari kemenangan. Itu buikan solusi menurutku, bisa-bisa saling hantam gara-gara mempertahankan pendapatnya.
“Ngecewain tahu,”, dia pergi Cuma dengan kata itu.
“ya Udah, Apa peduliku”, batinku kembali pada ketenangan dan keasyikan yang telah terganggu.
***
Semua teman-temanku telah sibuk dengan classmeeting, kecuali aku. Aku asyik dengan kesendirian karena dia sangat setia bersamaku.
Dian anggota Rohis, dan aku pun pula. Kami dulu biasa bersama. Tapi akhirnya jauh, karena perbedaan-perbedaan yang kami miliki. Lihat saja dia suka dengan kesibukan organisasi walau hingga akhirnya dia akan marah-marah sendiri. Padahal keinginannya sendirikan. Karena alasan capeklah, tak da yang Bantulah, kok akhirnya jadi nyalahin orang.
Salah satu lomba yang paling banyak penggemarnya adalah perlombaan Debat. Tema yang diusung pada saat ini tentang Israel dan Palestina yang mengejar perdamaian atau Perang. Dian masuk dalam kelompok diskusi itu.
“semoga berhasil za!”, kusalami dia setelah aku menemuinya.
“amin. Terima kasih”, jawaban yang simple. Dia tak lagi peduli. Mungkin karena stressnya kali menghadapi perlombaan ini. Atau masih marah ya ke aku?. Nggak tahu lah. Aku tak ingin memikirkannya, dari pada aku ikutan stress.
Dian membela Palestina. Kalau aku ikut, aku pun akan sama membela palestina yang akan terus mempertahankan kebenaran. Pastinya, HAMAS. Organisasi Palestin yang sangat di takuti karenana kekokohannya dalam memegang syariat dan kebenaran. Sayang, semua warga palestina tidak bersatu. Lihat saja lawan politik HAMAS, Fatah. Mereka tidak akan muncul kecuali HAMAS telah mati dan mengakui kekalahannya. Kemudian Fatah yang akan berkuasa.
“memang HAMAS yang cari masalah” yach seperti itu alasan Fatah untuk membela diri, memang pengecut. Para pengecut itulah yang akan terus di bela dan didukung oleh yahudi karena mereka pasti mau untuk selalu tunduk. Benar begitulah. Lihat saja, akhir dalam peperangan ini. Maaf, ini yang jadikan salah satu alasan, aku tak ikut debat kali ini. Tapi benarkah iya?.
Hingga pertandingan Usai, kelompok Dian kalah. Wajar saja, dia nggak pandai untuk berbicara. Walaupun idenya hebat dan benar. Tapi di dunia ini benar-benar yang di butuhkan orang yang suka obral mulut, itukan yang akan dinilai. Banyak mulut berucap, banyak kata yang ia keluarkan, maka kemenangan pasti akan berpihak padanya. Seperti koar-koar palsu pemerintah, sebelum mereka terpilih.
“Ya Allah, benarkah apa yang ku lakukan.”, dalam hati ketika melihat kekalahan ini aku menyesal. Ku lihat raut wajah Dian, memerah menahan amarah karena tak terima bila palestina yang disalahkan.
***
Seminggu dalam classmeeting aku selalu ditemani Kebisuan, bosan juga kadang. Setiap kali ku arahkan mata ini ke Dian, dia seperti masih marah dan tak peduli lagi. Tak ada yang marah, tak ada yang neggur, nggak asyik juga ya hidup seperti ini. Aku tak peduli dengan yang lain, tapi kenapa aku merasa kehilangan dan sangat membutuhkan Dian sebagai teman main dan ngobrolku, atau apalah yang penting. Aku ingin kembali dekat dengan Dian. Katanya marahan atau diam-diaman tidak boleh lebih dari tiga hari kan?
Kebiasaanku bercerita, atau lebih jelasnya mencurahkan hati. Saat ini terhenti.
Aku harus mendekatinya. Tekadku. Sepulang sekelah ini, dari pada aku terlambat.
“Dian, pulang bareng za!”, aku mulai mendekati, istirahat ini waktu yang tepat bagiku. pendekatan yang dengan Dian tak mungkin tertolak, walau Dian selalu diikuti wajah dinginnya tapi ku tahu dia tak akan menolak persahabatan. Dua tahun di SMA ini telah ku lalui bersama, maka kami saling mengenal satu sama lain. Dian teman yang paling mengerti diriku. Tapi, terkadang aku tidak mengacuhkannya. Wajar saja bila akhirnya dia juga kabur, dan aku ditemani dengan kesendirian yang senantiasa setia.
“Terserah!”, aduh Dian, jawabnya kok githu. Tahan marah-tahan marah! Jangan marah! Atau setan bersarang dihatiku. Perdamaian hati harus sukses. Nggak mau jadi Israel kan? Ku kuatkan kembali tekadku.
“aku boleh main ke rumahmu tidak?, Silaturrahim kan bisa menambah kekuatah persaudaraan, tambah umur, tambah rezaki. He..he.. lama juga aku tidak maen ke rumahnya. Lama tidak main bersama, aku benar-benar rindu segalanya.
“Terserah!”, Dian jawabnya kok masih githu sich. Aku nggak boleh menyerah.
“ya udah, ntar kita pulang bareng dan aku maen ke rumahmu. Okey. Daa Dian.”, dari pada emosi kuputuskan saja seperti itu, dan aku keluar kelas. Pergi kemanapun aku inginkan sambil menunggu bel masuk berbunyi.
***
“Dian, gimana kabar bapak dan ibu dirumah?, aku mulai pembicaraan sambil mengiringi jalan pulangnya.
“Baik.”, ayolah Dian, jangan dingin gini dong. Ntar setan kembali membujukku, untuk memutus persaudaraan kita lagi. Tak pahamkah kamu kalau aku rindu. Rindu persahabatan, rindu saat-saat kita bersama dulu.
“Dian, kita belajar matematika lagi yach!”
“Males!, aduh Dian gimana dong. Apa yang harus ku lakukan. Kamu kan tahu aku selalu sendiri, dan aku sulit untuk memulai. Bukan seperti ini yang aku inginkan.
“Sory, Di, apa sich yang kamu inginkan?”,
“Aku benci kamu, kamu pengecut sama seperti Israel yang ingin menang sendiri.”,
“Dian??”, pelan aku menyebut namanya. Aku ragu benar kah ini. Apa yang sebenarnya terjadi. Aku tak sadar dengan diriku sendiri.
“Kamu bisa kembali, kalau kamu berubah. Menjadi Ria yang peduli terhadap saudara, terhadap teman. Dan peduli kepada Agama.”
“Apa yang harus kulakukan?,
“ Kamu lebih tahu, dirimu sendiri.”, dia pergi meninggalkanku. Dalam kebingungan. Membiarkanku untuk berfikir. Aku tak ingin selalu ditemani kesendirian. Sekarang aku harus mulai untuk berubah, aku bukan pengecut. Dian akan melihatnya, masa-masa persahabatan yang indah pasti kan kembali. Terkadang kamu memang benar, tidak ada yang sempurna dalam dunia ini.
By: Eva Nuriatul Fajr
Semarang, Januari 20th, 2009, at 08.00 am.